Sunday, January 20, 2008

Modal Dasar Menjadi Penulis 7

Modal Keinginan



Saya sepakat dan ikut prihatin, apa yang dikatakan oleh pak Hamid Fahmy Zarkasyi MA. M.Phil, yang termuat dalam Terobosan (Edisi 289, 21/02/06) bahwa alumni Timteng tidak analitis, tidak argumentatif, tidak bisa menulis. Betapa banyak Masisir yang telah menguasai "pengetahuan" menulis. Masisir tahu, "apa" dan "mengapa" menulis. Bahkan, pada hakikat, Masisir juga secara garis besar telah memiliki skill (keterampilan). Tapi, karena tidak ada "keinginan", mereka tak pernah melahirkan karya. Sebaliknya, tidak sedikit mereka yang begitu ingin, bahkan menggebu, bersemangat. Tapi, karena pengetahuan dan keterampilan kurang, maka tulisan kita tidak pernah terpublikasikan. Toh termuat di media, kualitas tulisan tersebut kurang berkualitas. Wajar, jika pak Hamid Fahmy berkata demikian, karena penulis yang muncul hanya bermodalkan kemauan. Atau, ada yang skill bagus dan keinginan besar, tapi karena waktu mereka terkuras untuk aktivitas Masisir, ide-ide brilyan mereka belum sempat mereka tuangkan dalam tulisan.

Dan menurut saya, justru persoalan terakhir —keinginan— ini, yang menjadi faktor utama rendahnya budaya menulis Masisir. Keinginan (irâdah) untuk menulis, berbeda dengan berpikir (fikrah) untuk menulis. Yang sering terjadi adalah berpikir menjadi penulis, bukan keinginan menjadi penulis. Sering bergema dalam benak kita: "Ah, saya akan menjadi seorang penulis!" Tapi hanya sebatas itu, tanpa ada tindakan nyata. Beda dengan orang punya keinginan, mereka "melakukannya", bukan memikirkannya.

Begitu saya berkeinginan menjadi seorang penulis, salah satu yang saya lakukan adalah menulis Catatan Harian (Cathar) —yang sedang Anda baca ini adalah salah satu Cathar saya dan telah saya perbaiki— setiap hari. Sekali lagi saya katakan: "Setiap hari!". Itu selama berbulan-bulan. Cuma, akhir-akhir ini, tidak setiap hari, karena kebiasaan menulis Cathar itu saya alihkan untuk menulis naskah buku.
Mengapa harus setiap hari? Karena, otak dan hati kita seperti otot dalam tubuh kita. Coba kita perhatikan para atlit atau pesilat, tubuh mereka seperti tak bertulang. Mereka begitu mudah melipat bagian tubuh, melompat, lari, dan lain sebagainya. Mengapa tubuh mereka bisa selentur itu? Sebab, mereka sering latihan, atau olahraga.

Begitu juga dalam dunia membaca dan menulis, bila tidak ada latihan atau olahraga, maka "otot" pikiran dan perasaan kita akan kaku; sulit bergerak. Nah, salah satu medium untuk latihan atau olahraga pikiran dan perasaan adalah membaca dan menulis. Jadi, Anda boleh percaya atau tidak, bahwa tulisan saya yang terpilih sebagai juara pertama pada lomba Karya Tulis Ilmiah Populer yang diselenggarakan oleh KBRI dan PPMI itu, saya tulis hanya satu hari. Iyya, hanya satu hari, bahkan hanya beberapa jam saja! Tepatnya, tujuh jam!!

Tapi Anda harus ingat, berapa lama saya "belajar" menuangkan gagasan? Itu lebih dari tiga tahun! Berapa lama saya mempersiapkan data yang saya tulis? Itu saya kumpulkan selama 5 tahun di Mesir. Artinya, ada sebuah proses panjang. Untuk melahirkan kemampuan menulis "dalam beberapa jam" butuh waktu sekian bulan, sekian tahun, bahkan lebih. Bagi saya, di dunia ini, tak ada yang terjadi "tiba-tiba", tapi tetap mengikuti proses, atau hukum kausalitas, yang telah Allah Swt. taqdirkan.
Mungkin dalam hati Anda bertanya: "Bagaimana supaya komitmen nulis setiap hari dalam rentang waktu lama, sebab sering terjadi setelah ingin komitmen menulis setiap hari, tapi hanya beberapa minggu, bahkan beberapa hari, mengalami bad mood?" Anda tidak perlu bersedih, sebab saya pun pernah mengalami hal itu. Tapi, karena saya punya motto hidup: "Teruslah berjalan, insya Allah, di tengah perjalanan, akan banyak menemukan jalan!", maka saya tetap menulis kapan dan di mana saja, meskipun hanya untuk diri sendiri; tidak dipublikasikan.

Mesin Penggerak

Satu hal lagi yang ingin saya tegaskan di sini, bahwa untuk komitmen terus menulis, kita butuh "mesin penggerak". Nama mesin penggerak itu adalah niat. Imam Ghazali mengatakan bahwa, niat itu berada antara ilmu dan amal. Dengan kata lain, jika memakai konsep Stephen R. Covey, niat tak lain "kebebasan untuk memilih" yang berada di antara stimulus dan respon. Dalam kebebasan untuk memilih itu, kata Stephen, ada 4 anugerah ilahi, yaitu: self-awarness, conscience, imagination, dan independent will. Tentu 4 hal yang dikutif dari Viktor Frankl dan diagungkan oleh Stephen, bukan hal yang baru, bagi para pembaca kitab “Madârijus Sâlikîn”. Dalam kitab itu, pengarangnya; Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah, mengatakan bahwa ada 4 manzilah Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în, yaitu yaqdhah, bashîrah, fikrah, dan 'azm.

Bukankah 4 hal —menurut Stephen dan Ibnu Qayyim— itu dapat terjemahkan dalam bahasa Indonesia, dengan empat kata ini: kesadaran diri, suara nurani, imajinasi, dan kehendak bebas? Sangat menarik, dan betapa inginnya saya, mendiskusikan 4 hal itu menurut penulis Barat (Stephen R. Covey) dan penulis Islam (Imam Ghazali dan Ibnu Al-Qayyim) —baik itu mengapa "Model Proaktif" Stephen sama dengan konsep niat Ghazali dan mengapa konsep 4 anugerah ilahi Stephen sama dengan 4 manzilah Ibnu Qayyim maupun apa makna keduanya?— tapi sayang, ini bukan tema obrolan kita. Untuk lebih jelasnya, saya telah menuangkan dalam naskah buku saya "Kalo Gue Berubah, So What Gitu Lho! (Panduan Lengkap Merubah Diri)", silahkan nanti baca sendiri ya! Saya menyampaikan hal itu, sebagai prolog untuk menjelaskan niat sebagai "mesin penggerak" dalam membaca dan menulis.

Baik, kembali ke niat. Bila niat itu tak lain "kebebasan untuk memilih", maka niat itu mengandung 4 hal di atas: kesadaran diri, suara nurani, imajinasi, dan kehendak bebas. Iyya, memang demikian! Begitulah, dengan membaca dan menulis. Kita akan tergerak menulis bila memiliki salah satu atau lebih dari 4 hal itu. Ada yang karena kesadaran diri bahwa menulis itu adalah identitas dirinya sebagai mahasiswa. Ada yang berangkat dari suara nurani karena sedih melihat persoalan yang sedang terjadi. Ada yang meng-majinasi-kan (membayangkan) bahwa menjadi penulis bisa dapat duit banyak, terkenal, dan bisa keliling dunia. Ada juga yang berangkat karena kehendak bebas; dari pada tidak lulus kuliah, mendingan saya nulis "risâlah" (Disertasi, atau Tesis) secepatnya.

"Niat, kata pak Adian, "atau apa yang menggerakan kita menulis itu, sangat menentukan, apakah kita akan menjadi penulis produktif atau bukan!" Lebih lanjut beliau menuturkan: "Saya menulis, karena saya merasa saya wajib untuk menulis. Ini yang menggerakan saya untuk menulis!" Dalam obrolan kami berdua di ruang tamu Griya KSW itu, beliau bercerita bahwa ia menulis menjawab tantangan zaman. Secara eksternal, menurut beliau, ummat Islam dihadapkan dengan tiga tantangan, yaitu kristenisasi, imperialis modern, dan orientalisme.

Berangkat dari mempertahankan idealisme —Islam— itu, beliau menulis. Baginya, menulis adalah wasilah dakwah. Tentu saja, karena mempertahankan idealisme itu, pada awalnya tulisan beliau banyak yang ditolak oleh penerbit. Hingga beliau pernah menerbitkan, mencetak, dan memasarkan bukunya sendirian. Ini sama persis yang pernah dilakukan oleh Nia, penulis novel “Eiffel, I'm In Love”. Saya yakin, Anda —Masisir— pernah nonton film dengan judul itu. Nia tidak menawarkan novel ini ke penerbit manapun. Ia memfoto-kopinya sendiri, lalu ia jual kepada teman-temannya. Berikut adalah kutipan sebuah artikel yang bercerita tentang kisah si Nia:

"Setelah novel Eiffel, I"'m in Love selesai (ditulis-red.), aku fotokopi jilid lakban sebanyak 20 eksemplar. Dan aku jual dengan harga 10.000. Ternyata novel itu banyak peminatnya. Setelah laku beberapa puluh, aku ganti jadi fotokopi jilid spiral. Waktu itu harganya naik jadi 12.000. Ternyata semakin laku dan aku ganti lagi jadi fotokopi jilid softcover. Setelah total laku sekitar 150 eksemplar, aku dapat pinjaman uang dari orang tua untuk nyetak buku. Akhirnya, aku nyetak kecil-kecilan. Aku taruh di Gramedia Mal Pondok Indah dan Gramedia Cinere. Ternyata laku, 100 eksemplar laku terjual dalam waktu kurang dari tiga minggu di satu toko buku,” kenang Nia.

Kisah pak Adian dan Nia, itulah contoh orang yang punya niat untuk menjadi penulis “beneran”. Mereka berdua tidak patah harapan, tatkala harus bekerja sendirian. Mereka punya karakter mandiri —tidak tergantung dengan siapapun— luar biasa. Mereka terus berjuang sampai impian mereka tercapai. Dan hari ini, mereka telah menikmati hasil jerih payah itu.

Yah, niatlah yang menggerakan kita untuk menulis, juga membaca. Niatlah yang membuat kita tidak kehilangan semangat dan siap menempuh proses panjang. Niatlah membuat kita tidak pernah berhenti menulis. Niat yang ikhlas, tidak membuat kita surut, ketika ada yang mengkritik atau “membantai” tulisan kita, tidak termuat di media, dan tidak ada yang mau menerbitkannya. Niat yang tulus, tidak membuat kita merasa puas, apalagi menepuk dada bila tulisan kita termuat di sebuah media, di terbitkan, atau dipuji oleh orang lain.

Setelah bertemu langsung dengan beberapa penulis Indonesia: Mbak Helvy, Mas Ahmadun, Kang Irwan, Mbak Asma, Teh Pipit Senja, Mas Fauzil Adhim, Kang Gola Gong, dan dalam beberapa hari yang lalu bertemu dengan Pak Adian Husaini, MA., Adnin Armas, MA., dan Hamid Zarkarsyi, MA. M.Phil., saya menemukan benang merah, yaitu mereka menulis karena "prihatin" terhadap realitas yang sedang terjadi dan niat ikhlas.

Sekali lagi, modal dasar kita untuk menjadi seorang penulis adalah kebiasaan. Dan mesin penggerak kebiasaan itu adalah niat. Tentu niat yang saya maksud adalah "apa yang terjadi dalam diri kita" antara ilmu dan amal; atau antara stimulus dan respon. Semakin bagus ilmu (stimulus), maka akan semakin baik yang menggerakan diri kita. Semakin banyak informasi yang kita terima, maka akan semakin besar semangat kita untuk menulis.

Pengalaman Saya

Sebagai contoh, dulu ketika saya menulis "tak ada niat", saya iseng-iseng nulis cerpen. Keisengan saya itu, maka terbitlah Kumcer "Bara Musa di Taman Terpasung" (Pustaka Ummat, 2002). Akhirnya, orang mengenal saya sebagai 'cerpenis'. Sebenarnya, saya kurang "sreg" dengan sebutan ini, walaupun saya suka baca dan nulis cerpen. Masa sih, kuliah di Al-Azhar, kok malah jadi cerpenis?

Lalu, saya membuka mata dan telinga, apa yang sedang "in" (trend) di kalangan Masisir dan di Indonesia? Ooo, orang-orang lagi ramai membicarakan tentang Barat dan Islam. Satu sisi saya ingin memasuki mainstrem, namun di sisi lain saya kurang "sreg" sebutan pemikir. Ditambah, untuk loncat pagar dari wilayah fiksi ke non-fiksi, bukan hal yang mudah. Ada kurang pede, untuk menulis karya ilmiah, karena diksi yang sering muncul justru diksi untuk fiksi, bukan non-fiksi.

Pergulatan batin itu ternyata tidak lama. Niat untuk menulis non-fiksi semakin mantap. Dari mana saya harus melangkah? Karena saya akan memasuki dunia pemikiran, maka saya putuskan buku yang harus saya baca adalah "The Reconstruction of Religious Thougth in Islam: Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam (Jalasutra, 2002). Saya langsung mencari karya Sir. Muhammad Iqbal itu. Alasan memilih buku ini, karena beliau sosok filosof sekaligus sastrawan. Saya berasumsi, dengan membaca karya tokoh ini, hobi akan sastra dan niat saya mengkaji pemikiran barat, akan terpenuhi. Saya ingin menyatukan dua warna dalam menulis, yaitu fiksi dan non-fiksi. Dengan basmalah, saya mencoba mengalihkan dua warna bacaan dan jenis tulisan, dari fiksi ke non-fiksi. Setelah menamat buku Iqbal tersebut, ada beberapa paragraf yang sangat menyentuh hati saya, ini bunyinya:

Dalam halaman 34 beliau menulis:
"Perlu juga kita menganalisis ulang apa sebetulnya yang sedang dipikirkan oleh Eropa (sekarang baca: Barat atau Amerika Serikat) dan sampai dimana kesimpulan-kesimpulan yang telah dicapainya itu bisa membantu kita untuk mengadakan revisi, dan kalau perlu, melakukan rekonstruksi atas pemikiran agama dalam Islam."

Halaman lain, halaman 166, beliau mengatakan:
"Tugas yang dihadapi oleh seorang muslim modern adalah tak bertara. Dia harus memikirkan kembali keseluruhan sistem Islam tanpa sepenuhnya memutuskan hubungan dengan masa lampau.."

Maka saya mencoba melakukan apa yang Iqbal sarankan, yaitu "menganalisis ulang apa yang dipikirkan oleh Barat". Lagi-lagi saya perlu menentukan, pintu masuk ke sana. Setelah meneliti diri, saya putuskan, sebaiknya saya masuk dari dunia Ilmu Psikologi dan Manajemen Diri. Saya awali dengan membaca dua buah buku karya Sa'ad Riyadh tentang psikologi, berjudul "'Ilmu al-Nafsi fi Al-Quran al-Karim" dan "'Ilmu al-Nafsi fi Al-Hadits asy-Syarif". Kemudian saya baca buku Stephen R. Covey —“The 7 Habits of Highly Effective People”, untuk memahami pemikiran orang barat.
Bersamaan dengan hal itu, saya melakukan pernyataan Iqbal yang kedua, yaitu "menstruktur pemahaman saya terhadap Islam" dan back to "turâts" (masa lampau). "Ingatlah Puzzle!", kata Gordon Dryden (The Learning Revolution, 2002), akan jauh lebih mudah jika Anda melihat gambar keseluruhannya lebih dahulu. Memulai sesuatu dengan gambaran menyeluruh, akan memudahkan kita untuk memahaminya.
Berbicara tentang struktur, cukup menarik apa yang dipaparkan oleh Kontowijoyo, bahwa menurut Webster's New International Dictionary kata strukture berasal dari bahasa latin "structura" yang artinya bangunan, dari kata structus atau stuere yang berarti menyusun. Jean Pieget dalam "Structuralism" (New York: Harper & Row, Publiser 1970) menyebutkan ada tiga ciri dari struktur, yaitu (1) wholeness (keseluruhan), (2) transformation (perubahan bentuk), dan (3) self-regulation (mengatur diri sendiri).

Dalam melakukan perenungan itu, saya seperti menyusun serpihan puzzle yang Dryden katakan. Hasil kontemplasi itu saya tuang dalam bentuk "Mapping Mind" (Peta Pikiran) yang saya pelajari dari buku Quantum Learning (Kaifa, 1999). Lambat laun, system of thought (sistem pemikiran) saya pun terbangun. Tiga hal yang Happer & Row katakan, juga saya rasakan. Tersingkaplah makna surat Al-Fatihah. Dan dari sini mengalir banyak ide untuk menulis, misalnya: "7 Prinsip Mendidik Anak Jadi Pahlawan", "7 Prinsip Merubah Diri", dan seterusnya.

Adapun langkah yang saya tempuh untuk back to Turats, saya mencari sosok ulama Islam yang karyanya banyak memuat persoalan jiwa —meskipun beliau lahir sebelum ilmu psikologi muncul, ternyata jatuh pada Ibnu Qayyim, salah satu karya beliau yang saya tela'ah adalah "Madârijus Sâlikîn".

Dari karya-karya Stephen R. Covey —bukan hanya The 7 habit, tapi juga "Firs Things First", termasuk karya putranya: Sean Covey, berjudul “The 7 Habits of Highly Effective Teens”, dll— dan karya-karya Ibnu Qayyim —bukan hanya Madârijus Sâlikîn, tapi juga "Al-Jawâbul Kâfy", "Miftâh Dârus Sa'âdah", "Shaidul Khatir", dll— saya semakin haus dengan karya-karya ulama besar, misalnya, Imam Ghazali, dan tokoh-tokoh dari barat. Terjadilah dialog antara tiga hal, sistem pemikiran saya, pemikiran Barat, dan pemikiran Muslim. Apa yang terjadi?

Ketika saya membaca literatur barat, saya menemukan dua hal: (1). Banyak konsep yang mereka tulis sebenarnya dari Islam, tapi mereka sama sekali tidak menuliskannya; (2). Bila mereka menyebutkan Islam atau orang Islam, mereka kemukakan dalam posisi yang jelek. Itu yang saya lihat dari buku Stephen R. Covey yang ia klaim objektif dan universal. Saat saya membaca literatur ulama Islam, saya menemukan dua hal juga: (1). Konsep yang mereka tawarkan adalah gagasan raksasa; (2). Metode yang mereka pakai, jauh lebih ilmiah dari metode barat yang konon paling ilmiah. Contoh-contoh dari penemuan saya ini, sebaiknya Anda diskusi langsung kepada saya. Ok?

Maka, tatkala Pak Adian Husani menceritakan bahwa beliau menulis karena "merasa wajib menulis" untuk meluruskan sesuatu yang salah, hati saya berdetak keras. Saya juga merasakan hal itu. Saya sering merasakan saya wajib untuk menulis, salah satunya tulisan saya berjudul "Nikah Saat Kuliah" sebagai syarat bantuan BWAKM (konon terkesan emosional dan membuat beberapa teman merah telinga), "Faktor-faktor Kesuksesan dan Kegagalan Masisir" yang saya ikutkan dalam Lomba Karya Tulis Populer KBRI dan PPMI, naskah buku saya "Kalo Gue Berubah; So What Gitu Loh! (Panduan Lengkap Merubah Diri)" sebagai tanggapan saya terhadap Stephen R. Covey, dan yang lainnya. Ya, saya menulis, karena merasa punya kewajiban untuk meluruskan sesuatu agar kembali kepada yang benar atau menyampaikan sesuatu yang benar.

Cuma, mungkin, perbedaan antara kami; Pak Adian merasakan itu puluhan tahun yang lalu, sedangkan saya belum cukup dua tahun. Yang jelas, kesadaran, hati nurani, imajinasi, dan kehendak bebas saya tersentuh. Dari sana, niat untuk menulis itu muncul. Niat inilah samudera tak bertepi yang bergelombang dalam jiwa. Niat bukan sekedar kompas saja, tapi juga peta dan rambu-rambu dalam perjalanan menemukan jalan kebenaran. Wajar, jika nabi Muhammad Saw, menegaskan: "Innamal A'mâlu bi an-Niyât". Seluruh aktivitas kita tergantung dengan niat kita.
Dan niat itu, bukan saja menggugah saya untuk menulis saja, tapi —minjam istilah Al-Ustadz KH. Abdullah Syukri Zarkasyi dalam acara IKPM di Sholah Kamil— membuat saya berubah dan merubah, bergerak dan menggerakan, berjuang dan memperjuangkan, dan seterusnya. Ini saya realisasikan dalam bentuk mendirikan CSRD (Community of Self Research and Development) yang bergerak dalam bidang penelitian dan pengembangan diri dengan konsep MATA (Manajemen Ahsanu Taqwim).

Ikhtitâm

Akhirnya, saya selalu belajar menjadi sosok "pencari makna". Tentu saja ada perbedaan antara orang yang mencari dengan tidak mencari. Bagi seorang pencari pulpen, ketika ia menemukannya, jiwanya akan berteriak: "Aha, saya menemukannya!" Sebaliknya bagi yang tidak mencari pulpen, maka ratusan bahkan milyaran pulpen di hadapannya, tak pernah akan membuat jiwanya bergetar. Seperti itulah kita. Meskipun kita tinggal di Lumbung Ilmu, atau Ka’batul ‘Ilmu (Kiblat Ilmu), referensi dan ulama banyak, bila kita tidak memposisikan diri sebagai pencarinya, maka semua itu tidak mampu menggerakan hati kita untuk membaca dan menulis. Kita anggap angin lalu.
Membaca, atau memamah kata itu seperti mengejar kijang. Bila tidak kita ikat, maka maknanya akan kabur. Cara untuk mengikat makna itu adalah kita harus menuliskannya. Karena saya pencari makna, wajar hal-hal yang kecil jadi menarik bagi saya, apalagi yang besar. Nah, apa yang Anda cari di Mesir? Apakah yang Anda cari itu sesuai dengan niat awal ke Mesir? Sudahkah Anda mengikatnya? Wallâhu a'lam! Wa shallâhu ‘alâ sayyidinâ Muhammadin wa ‘alâ â lihî wa shahbihî wa sallam?

Modal Dasar Menjadi Penulis 6

7 Kiat Menulis Fiksi



1. Buatlah judul yang singkat, menarik, dan menggerakan orang untuk membaca cerita. Coba pelajari judul-judul pada setiap surat dalam Al-Quran, Anda akan menemukan bahwa judul-judulnya hampir semuanya pendek. Selain singkat juga menarik, ciri-cirinya, judul tersebut dapat tergambarkan dalam imajinasi. Secara otomatis menggerakan kita untuk membacanya. Misalnya, surat Yusuf.

2. Awali cerita dengan kalimat yang menggugah dan membuat penasaran pembaca. Lagi-lagi, perhatikan susunan kalimat dalam setiap surat dalam Al-Quran. Kalimatnya rata-rata menggugah dan penasaran. Coba Anda perhatikan awal surat Yusuf. Di sana diceritakan bahwa nabi Yusuf bermimpi. Nah, makna mimpi itu baru kita temukan setelah ratusan ayat berikutnya.

3. Bangun karakter tokoh dan konflik cerita sekuat mungkin. Masih pada surat Yusuf. Coba perhatikan karakter nabi Yusuf sebagai protogonis (tokoh baik) dan saudara-saudaranya sebagai antagonis (tokoh jahat). Di sana kita akan menemukan karakter tokoh yang berbeda dan konflik yang bagus.

4. Gambarkan setting (tempat dan waktu) cerita sejelas mungkin. Dalam surat Yusuf itu, digambarkan bahwa setting tempat adalah di Mesir.

5. Buatlah alur yang rasional, jelas, dan menarik. Sama halnya, di surat Yusuf itu, Allah membuat alur yang rasional, jelas, dan menarik. Contohnya, ketika saudara-saudaranya ingin membuang nabi Yusuf di sumur, mereka kelabui bapak mereka dengan darah.

6. Tentukan amanat dan sampaikan tanpa menggurui. Ini jelas, Al-Quran lebih mengutamakan amanat dibandingkan data-data yang dibutuhkan dalam sebuah penulisan sejarah. Dalam bahasa Al-Qurannya, amanah disebut ‘Ibrah.

7. Akhiri cerita dengan tepat dan memiliki suspens (kejutan; keterharuan). Yah, seperti yang saya kemukakan tadi, bahwa Allah membuat alur surat Yusuf sangat menarik, maka ketika mengakhirinya penuh dengan haru-biru. Ini dapat kita lihat, pertemuan nabi Yusuf dengan keluarganya yang telah berpisah sekian lama.

Bersambung ke "Modal Keinginan"...

Modal Dasar Menjadi Penulis 5

7 Kiat menulis

1. Tulislah sesuatu yang benar-benar kita fahami dan telah menjadi pengalaman hidup. Tulisan adalah medium untuk menyampaikan sesuatu dalam diri kita. Dan Islam telah menegaskan, bahwa dalam menyampaikan sesuatu harus berdasarkan ilmu. Sebab, apa yang kita sampaikan, selain harus dapat kita pertanggungjawabkan secara moral kepada manusia, lebih penting lagi, adalah di akhirat nanti, Allah pasti akan mempertanyakannya. (Baca: Qs. Al-Isra’ [17]: 36).

2. Tuliskan semua ide atau gagasan kita secara mengalir. Tatkala kita yakin, apa yang akan kita tulis adalah kebenaran, maka menulislah sesuai dengan tuntunan suara hati. Jangan takut tulisan kita jelek. Tulis saja! Saya baca kitab “Sayyid Quthub al-Adîb an-Nâqid, wa ad-Dâ’iyah al-Mujâhid, wa al-Mufakkir al-Mufassir ar-Râid’ karya al-Ustadz Sholah Abdul Fattah. Dalam buku itu, Sayyid Quthub menulis paragraf ini: “Setiapkali saya mencoba menulis “Fî Dhilâl al-Qur’an” dan ingin membenamkan diri membahasnya secara nahwiyah, atau secara filsafat, atau secara fiqyah, selalu seperti ada hijâb (dinding pemisah; tirai), yang memisahkan Al-Quran dari ruhku, atau menghalangi ruhku dari Al-Quran. Maka kitab tafsir itu saya tulis dengan emosi”. Pernyataan Sayyid Quthub ini, senada dengan apa yang disarankan oleh Carmel Bird —penulis buku “Menulis dengan Emosi: Panduan Empatik Mengarang Fiksi”— bahwa ketika bingung menulis, maka menulislah dengan emosi! Secara singkat —menurut Carmel Bird— menulis dengan emosi adalah menulis berdasarkan kehidupan, ingatan, dan apa yang ada dalam diri penulis.

3. Sebaiknya, kita jangan berhenti menulis ketika kita kehilangan ide, paksakan menulis terus. Berhentilah pada saat kita benar-benar tahu kelanjutan dari apa yang ingin kita tuliskan. Sebab berhentilah saat kita kehilangan ide, maka biasanya ketika meneruskannya kembali akan kesulitan, bahkan berubah ide. Akhirnya kita terkena virus bad mood. Toh, kalau pun kita tetap memaksakannya, maka tulisan itu akan terlihat tidak sinkron dan tidak mengalir.

4. Setelah tulisan kita rampung, lupakan tulisan itu untuk beberapa saat. Jordan E. Ayan, dalam bukunya “Bengkel Kreativitas: 10 Cara Menemukan ide-ide Pamungkas” (Kaifa, 2002), menyebutkan bahwa berdasarkan penelitian Graham Wallas terhadap proses berpikir para sarjana, ilmuan, dan ahli matematika tersohor, maka kreativitas itu muncul dengan empat tahap, yaitu: (1). Tahap persiapan; (2). Tahap inkubasi; (3). Tahap pencerahan; dan (4). Tahap pelaksanaan atau pembuktian. Nah, masa inkubasi; tahap istirahat; penyimpanan; pengendapan, itulah yang saya sebut dengan “melupakan tulisan yang telah kita tulis”. Mungkin sehari, seminggu, atau lebih. Ini sangat membantu kita untuk mengedit tulisan kita.

5. Bacalah kembali tulisan kita sekaligus mengeditnya. Ketika membaca ulang, posisikan diri kita sebagai pembaca, bukan sebagai penulis. Jangan ingat bahwa itu adalah tulisan kita. Dengan demikian, kita akan objektif dan kritis terhadap apa yang sedang kita baca. Pertama, bacalah isinya saja, abaikan tata bahasa atau ejaannya. Bila kita telah sepakat dengan isi tulisan itu, maka melangkahlah ke tahap kedua, yaitu perhatikan kata; kalimat; frase; paragraf yang paling menarik, maka pertahankan. Bersamaan dengan itu, telitilah kata sampai paragraf yang menurutmu tidak menarik, maka ubahlah. Tahap ketiga, sinkronisasikan seluruh kalimat sampai paragraf dalam tulisan itu. Dan tahap terakhir, perhatikan tanda baca, ejaan, atau hal-hal teknis lainnya, dan perbaiki semua yang salah. Editlah berkali-kali, sampai kita merasa yakin, bahwa tulisan kita telah bermutu.

6. Tulisan yang telah kita edit tersebut, serahkan kepada orang lain untuk membacanya. Ini sangat penting. Karena, terkadang, orang lain akan lebih mudah menemukan kekurangan tulisan kita. Minimal, untuk mengetahui apakah mereka faham atau tidak dengan tulisan kita. Maka, setelah orang lain membaca tulisan kita, maka tanyalah apa yang mereka tangkap dari tulisan itu. Bila penjelasan mereka sesuai dengan apa yang kita inginkan, berarti kita telah berhasil menuliskan gagasan kita. Sebaliknya, bila orang lain bingung, atau berbeda dengan yang kita inginkan, sebaik kita edit ulang. Saran saya, agar kiat 6 ini efektif, bergabunglah dengan komunitas penulis, misalnya Forum Lingkar Pena (FLP) yang secara rutin menggelar acara “Bengkel Karya” untuk mengkritisi karya para anggotanya.

7. Belajarlah dari pengalaman kita menulis. Semakin sering kita melakukan hal-hal di atas —kiat 1 sampai 6— maka kita akan semakin berpengalaman. Kita akan memiliki emperical art. Jadikan pengalaman itu sebagai guru kita. Untuk mengukur kemampuan kita dalam menulis, bukan membandingkan diri dengan penulis lain, tapi ukurlah diri dengan pengalaman kita sebelumnya. Dengan menyadari kelebihan dan kekurangan dari setiap tulisan sebelumnya, maka tulisan selanjutnya akan lebih berkualitas.

Bersambung ke "7 Kiat Menulis Fiksi"...

Modal Dasar Menjadi Penulis 4

7 Kiat membaca


1. Pilihlah buku atau bahan bacaan yang benar-benar bergizi. Buku itu sangat banyak. Sedangkan waktu dan dana yang kita miliki, sangat terbatas. Maka, dalam membaca, kita harus memilih buku sesuai dengan spesialisasi yang akan kita geluti atau sesuai dengan hobi baca kita. Maka, kita butuh skala prioritas. Dari sekian banyak buku dalam bidang yang kita geluti, kita harus mendahulukan buku yang bergizi; menggerakan dan mencerahkan. Salah satu cara menentukan buku bergizi adalah carilah buku yang ditulis oleh pakarnya. Dan sebaik-baiknya bacaan adalah Al-Quran dan hadis Nabi.

2. Sebelum membaca cobalah cari gambaran tentang isi buku. Untuk memperoleh gambaran sekilas tentang buku: perhatikan cover depannya, mulai dari judul dan gambar. Lalu, baca sinopsis buku yang berada di cover belakang. Setelah itu, baca Kata Pengantar, baik dari penulis, penerbit, atau tokoh yang pakar dalam tema buku itu. Kemudian, baca Daftar Isi. Bila memang perlu, lihatlah lembar demi lembar secara cepat dan acak. Baru anda baca dari awal sampai akhir.

3. Ketika membaca jangan pernah bosan bertanya. Imam Ad-Darimi mewartakan bahwa nabi Muhammad Saw. pernah bertutur: “Seandainya, tidak ada pertanyaan, maka ilmu akan hilang.” Dengan banyak bertanya saat membaca, maka kita akan memperoleh banyak ilmu. Misalnya, kita bertanya: “Apa ya, arti kata ini? Apa sih, gagasan utama dalam paragraf ini? Hubungan antara bab yang sedang saya baca ini, dengan bab sebelumnya, kira-kira apa ya? Makna apa sih, yang ingin pengarang sampaikan? Dengan tema yang sama, apa ya perbedaan dan persamaan dengan buku yang pernah saya baca?” Dan seterusnya.

4. Belajarlah mengkritisi setiap gagasan dalam sebuah buku. “Jangan immaah!” pesan nabi Muhammad Saw. Lalu, para sahabat bertanya: “Ya rasul, maksudnya?” Nabi menjelaskan: “Immaah itu bila kalian berkata, “jika orang lain berbuat baik, kami akan ikut. Begitu juga, jika orang banyak berbuat jelek, kami akan ikut!” Seharusnya, istiqomahlah pada prinsip kalian; bila orang lain berbuat baik, maka ikuti. Manakala orang lain berbuat jahat, jangan ikut-ikutan”. Hadis yang diceritakan oleh Imam Tirmidzi ini, menerangkan bahwa kita harus memiliki pendirian. Tidak semua yang kita baca harus kita ikuti. Tapi kita punya standar hidup: Al-Quran dan hadits, untuk menimbangnya. Bila sesuai dengan keduanya, maka kita terima. Jika tidak sesuai, kita harus tinggalkan. Bahkan, kalau mampu, kita harus meluruskannya. Misalnya, dengan menulis buku untuk mengkritisinya.

5. Catat hal-hal yang menarik atau yang penting selama membaca. Sa’ad bin Jubair (wafat 714 M) bercerita, “Dalam kuliah-kuliah Ibnu Abbas, aku biasa mencatat pada lembaran; bila telah penuh, aku menuliskannya di kulit sepatuku, dan kemudian di tanganku”; dan “Ayahku sering berpesan kepadaku, “Hapalkanlah, tapi paling penting adalah catatlah. Bila sampai di rumah, maka tulislahkanlah. Dan jika kau memerlukan atau tidak ingat lagi, maka bukumu akan membantumu.” Itulah, tradisi ulama Islam zaman dulu. Hingga, hasil catatan mereka, menjadi rujukan umat Islam dari masa ke masa.

6. Renungkan kembali ide atau gagasan yang Anda temukan dalam buku. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, Imam Ghazali menuliskan sebuah hadis yang berbunyi: “Berpikir satu detik lebih baik dari ibadah setahun”. Sebanyak apapun buku yang kita baca, bila kita tidak merenungkannya, maka akan mudah kita lupakan. Maka, biasakan, setiap selesai membaca sebuah buku, merenunglah minimal 15 menit. Apalagi, bila membiasakan diri untuk merenung hasil bacaan kita pada setiap selesai zikir ba’da sholat 5 waktu. Ini lebih baik!

7. Diskusikan kepada orang hasil bacaan Anda. Apa yang kita pikir benar dari hasil membaca, belum tentu benar. Untuk mengetahui benar atau salahnya, maka diskusikan dengan orang lain, terutama kepada orang yang ahlinya. Dengan mendiskusikan kepada orang lain, maka ingatan dan pemahaman kita akan bertambah baik, bahkan keterampilan dalam berbicara akan meningkat. Abdullah bin Mas’ud menceritakan bahwa nabi bersabda: “Allah akan merahmati orang yang menghadiri majlis kami, lalu ia menyampaikan apa yang telah ia dengar. Karena terkadang, orang yang menyampaikan akan lebih hapal dan lebih faham dari orang yang hanya mendengar.” (HR. Tirmidzi) Intinya, dengan menyampaikan apa yang kita faham —baik itu hasil membaca atau mendengar ceramah— maka akan menguatkan hapalan dan meningkatkan pemahaman.

Bersambung ke "7 Kiat Menulis"...

Modal Dasar Menjadi Penulis 3

Modal Keterampilan

Kalau modal pengetahuan lebih kepada persoalan "apa", maka keterampilan pada persoalan "bagaimana"nya. Dengan kata lain, lebih pada "cara" kita membaca dan menulis. Lagi-lagi, pada prinsipnya, setiap orang punya cara sendiri dalam membaca dan menulis. Hanya saja saya ingin menstimulan Anda untuk membaca langsung dua buku kang Hernowo, yang pertama telah saya sebutkan di atas —berjudul "Mengikat Makna", kedua “Andaikan Buku itu Sepotong Pizza" (Kaifa, 2003). Di sana, secara menarik, beliau menawarkan cara-cara praktis membaca dan menulis.

Sebagai contoh, kang Hernowo dalam —"Andaikan Buku itu Sepotong Pizza"— memperkenalkan "metode belajar gaya SAVI", singkatan dari Somatis (bersifat raga/tubuh), Auditori (bunyi), Visual (gambar), dan Intelektual (merenungkan), yang ia cuplik dari Dave Meir, bukunya "The Accelerated Learning Handbook". Dalam buku itu pula, kang Hernowo, menyampaikan cara membaca menurut sorotan Krashen dan Pannebeker. Akan tetapi, karena keterbatasan ruang dan tempat, mohon ma'af saya tidak bisa mendiskusikan dua hal itu kepada Anda lebih detil di sini. Saya hanya akan menyampaikan beberapa kiat untuk membaca dan menulis. Lalu, secara khusus tentang Kiat Menulis Fiksi.

Bersambung ke "7 Kiat Membaca"...

Modal Dasar Menjadi Penulis 2

Modal Pengetahuan

Modal pengetahuan adalah jawaban dari pertanyaan: apa yang harus kita lakukan, dan mengapa? Iyya, apa yang harus kita lakukan? Secara sederhana, yang harus kita lakukan ada dua, yaitu membaca dan menulis. Keduanya merupakan ajaran Islam. Wahyu pertama yang Allah turunkan lewat Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. adalah perintah untuk membaca. Iqra’ bi ismi rabbika; Bacalah dengan nama Tuhanmu! (baca: Qs. Al-‘Alaq [96]:1-5) Dan wahyu Allah itu kita sebut dengan Al-Qurân (bacaan) dan Al-Kitâb (tulisan). Membaca dan menulis, bagaikan dua sisi mata uang. Hilang salah satunya, maka yang satunya lagi tidak akan bermakna. Orang yang akan menulis tanpa membaca, itu mustahil. Sebaliknya, pembaca sejati tanpa menulis, itu juga tidak mungkin.

Saya yakin, Anda sudah tahu, apa itu membaca dan menulis? Hanya saja, tidak ada salahnya, bila kita bicarakan kembali, agar kita lebih memahaminya. Kang Hernowo —penulis buku best seller "Mengikat Makna: Kiat-kiat Ampuh Untuk Melejitkan Kemauan Plus Kemampauan Membaca dan Menulis Buku" (Kaifa, 2000)— dalam bukunya itu menerangkan bahwa membaca dan menulis adalah dua aktivitas "mencerna". Membaca adalah upaya untuk mencerna dan menyerap sari sekumpulan gagasan. Dan menulis adalah salah satu aktivitas yang dapat mempercepat proses pencernaan dan penyerapan sebuah gagasan.

Mari kita renungkan sejenak tentang imtihân (ujian) yang kita jalani selama ini. Bukankah kedua aktivitas (membaca dan menulis) itu telah kita lakoni? Pra-imtihân, dengan sekuat tenaga kita berusaha "mencerna" isi muqarrar (diktat kuliah). Caranya tak lain dengan membaca. Bahkan kita sempat membuat "talkhîsh-an". Dengan ringkasan ini, berarti kita telah belajar mencerna dan menyerap sari sekumpulan gagasan yang ada dalam muqarrar. Kemudian, sewaktu hari "H"; saat imtihân, kita berusaha mencurahkan apa yang ada dalam diri kita.

Siapapun yang telah sukses dalam imtihan, berarti ia telah memiliki modal besar untuk menjadi penulis. Sebab kata Kang Hernowo, secara sederhana, menulis beliau artikan sebagai merumuskan hal-hal yang kita simpan "di dalam" untuk kemudian dapat kita pahami "di luar". Itulah yang telah kita lakukan dalam imtihân: menyerap muqarrar ke dalam diri dan mengeluarkan apa yang dalam diri kita ke atas lembaran soal ujian.

Imtihân sebagai sarana bagi kita untuk membaca efektif dan merumuskan tulisan kita dengan baik. Dan syarat menulis yang dapat menghasilkan rumusan baik adalah adanya kongruensi. Dengan kata lain, bahwa segala yang ada "di dalam" (yang kita pikir dan rasakan) harus sama persis dengan segala sesuatu yang ada "di luar" (yang kita tulis dan kita lakukan).

Selanjutnya, mengapa kita membaca dan menulis? Saya kira, setiap orang akan memiliki jawaban yang berbeda, seperti perbedaan sidik jari antara kita satu sama lainnya. Mengenai jawaban secara pribadi ini, akan kita bicarakan secara mendalam pada "Modal Kemauan". Sekarang kita bicarakan jawaban secara umum, atau minimal berdasarkan peran kita sebagai "mahasiswa".

Bagi saya, mahasiswa adalah calon ilmuan (sarjana). Dan keilmuan atau kesarjanaan seseorang akan terukur dengan karya tulis ilmiahnya. Karya tulis ilmiah untuk strata satu (S1) kita sebut Skripsi, S2 kita sebut Disertasi, dan S3 kita sebut Tesis. Itu standar minimal dalam akademis. Maka, dalam kaitan dengan peran sebagai mahasiswa, alasan atau "mengapa" kita membaca dan menulis adalah untuk membuktikan keilmuan atau kesarjanaan yang telah kita peroleh.

Persoalannya, ketika kita kuliah di Mesir, khususnya S1 di Universitas Al-Azhar, adalah kita tidak dituntut oleh Al-Azhar untuk menulis. Beda bila kita kuliah di Indonesia, syarat kelulusan S1 adalah menyusun skripsi. Al-Azhar baru mewajiban pada tingkat magister (S2). Nah, bila kita tidak menyadari hal ini, kita terlena dan tidak mencari solusinya, maka ketika kita akan melanjutkan S2 baik di Mesir, Timur Tengah, atau pun di Indonesia, kita akan tertinggal dengan teman-teman tamatan dari universitas yang mewajibkan menulis skripsi, apalagi yang setiap bulan harus buat paper atau makalah. Jadi, membaca dan menulis, adalah tugas utama seorang mahasiswa. Jika kita tidak melakukannya, maka jangan pernah mengaku sebagai mahasiswa!

Setelah kita mendefinisikan membaca dan menulis, dalam kaitan dengan "Pengetahuan", kita juga harus tahu ragam; jenis; gaya, unsur; atau bagian-bagian terkecil dari membaca dan menulis. Misalnya, jika membaca itu kita ibaratkan dengan "makanan", maka ada makan besar, ada ngemil. Membaca "makan besar", maksudnya adalah membaca sebuah dari awal sampai akhir secara serius. Sedangkan, membaca "ngemil" yaitu membaca bagian-bagian penting dan menarik dari sebuah buku.

Begitu juga dengan menulis, kita harus tahu "menu apa" yang harus kita hidangkan. Kita harus tahu, apa yang kita tulis. Menulis fiksi dan non-fiksi, itu berbeda. Fiksi juga bermacam-macam, ada cerpen, cerbung, novel, novelet, puisi, komik, dan seterusnya. Apa saja unsur-unsur intrinsik dari semua bentuk fiksi? Misalnya, unsur cerpen, terdiri dari: alur, tokoh, konflik, setting tempat dan waktu, dialog, amanah, dan seterusnya.

Yang termasuk non-fiksi, (1). ada berkatagori fakta (fact) contohnya, Berita, Laporan, dan Feature; (2). katagori opini (opinion), misalnya, Artikel, Esai, Tajuk, dan Kolom; dan (3). ada yang temasuk Karya tulis Ilmiah, misalnya, Makalah, Paper, Skripsi, Disertasi, Tesis, dan hasil riset. Nah, untuk menjadi seorang penulis, kita harus faham betul, apa persamaan dan perbedaan dari semua tulisan tersebut? Misalnya, Kolom dan Esai, sama-sama subjektif, tapi keduanya berbeda; Kolom lebih argumentatif, sedangkan Esai hanya sekilas.

Di sini, kita bahas secara singkat saja. Pertama, Apa perbedaan dari semua jenis tulisan non-fiksi itu? Berita, laporan sifatnya aktual, faktual, penting, dan menarik. Feature sifatnya faktual, menerangkan masalah bukan melaporkan segera, tidak basi, human interest, unsur sastra, lead atraktif. Artikel sifatnya faktual, berisi gagasan dan fakta, menyakinkan, mendidik, memecahkan masalah, menghibur. Esai sifatnya sepintas, sudut pandang pribadi. Tajuk Induk karangan, opini redaksi, leader. Kolom sifatnya subjektif, argumentatif.

Apa perbedaan dari semua jenis tulisan fiksi itu? Cerpen bersifat pendek, tokoh sedikit, mengutamakan konflik. Novel bersifat panjang, tokoh banyak, tidak hanya mengutamakan konflik. Novelet bersifat lebih panjang dari cerpen dan lebih pendek dari novel. Puisi bersifat kalimat pendek, indah, bermakna Pantun bersifat empat baris, bersajak. Komik bersifat bergambar, dialog. Karikatur bersifat gambar, sindiran. Nomik bersifat perpaduan antara novel dan komik.

Bersambung ke "Modal Keterampilan"...

Modal Dasar Menjadi Penulis 1

Iftitâh

Bismillâh. Anda ingin menjadi penulis? Gampang! Modalnya apa? Modalnya, enggak rumit kok, ntar kita diskusikan bersama. Ok? Yang jelas, di Iftitâh ini, saya ingin menegaskan bahwa menulis itu habit; kebiasaan. Sebelum kita bertukar-pikiran tentang habit, saya akan sedikit bercerita. Begini, dalam beberapa momentum silaturahmi kepada teman-teman Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir), mereka bertanya: "Do, gimana sih proses udo bisa nulis?" Atau, ketika saya menjadi pemateri dalam beberapa acara, misalnya, dua kali saya mengisi acara SMS (Sekolah Menulis SINAI), Pelatihan Jurnalistik KEMASS, Pelatihan Menulis Altar (Alumni Persis 76 Tarogong), Up Grading buletin "Manggala" KPMJB, dua kali jadi pembicara acara “Diklat Menulis: Mengenal Pers & Jurnalistik” buletin "Al-Jauhar" KSMR, Pelatihan Terjemah Pwk. Persis, Pelatihan Jurnalistik DPD PPMI Zaqazig, “Pelatihan Jurnalistik” buletin Al-I’Tishom Ikatan Keluarga Alumni Thawalib (IKATH), Pelatihan Jurnalistik I KMA, atau beberapa acara FLP Mesir, dan acara yang lainnya, pertanyaan serupa sering muncul: "Gimana sih caranya, supaya saya bisa menjadi seorang penulis?"

Biasanya, sebelum menjawab, saya diam sejenak. Bingung! Karena tak ada hal istimewa yang saya laksanakan. Saya melakoni apa yang kebanyakan orang lakukan. Bila saya jawab: karena saya sering ikutan pelatihan menulis, lalu mengapa teman-teman saya yang pernah mengikuti pelatihan itu tidak produktif berkarya? Jika saya katakan: sebab banyak membaca buku tentang menulis, lantas mengapa teman-teman saya yang melakukan hal yang sama, merasa kesulitan menggoreskan apa yang berkecamuk dalam benak mereka? Manakala saya jelaskan: akibat saya aktif di organisasi penulis (Forum Lingkar Pena/FLP), trus mengapa banyak yang aktif di sana, tidak juga menjadi seorang penulis?

Maka untuk menjawab pertanyaan itu, saya sering mengatakan apa yang saya sebutkan di atas bahwa menulis itu adalah habit. Betapa terkejut saya, saat saya silaturahmi dengan penulis muslim produktif, H. Adian Husaini, MA. —Ketua DDII Pusat dan Peneliti INSISTS—, pada hari Sabtu, 25 Februari 2006, di Griya KSW, saya bertanya: "Pak, bagaimana proses bapak menjadi seorang penulis produktif?" Beliau menjawab: "Menulis itu habit!" Subhânallâh, ternyata ungkapan beliau sama dengan kesimpulan saya selama tiga tahun ini; bahwa menulis adalah habit atau kebiasaan. Pak Adian Husaini menceritakan bahwa proses beliau menjadi penulis produktif karena membiasakan diri untuk membaca dan menulis.

Iyya, menulis itu habit (kebiasaan)!! Lantas, apa itu habit (kebiasaan) itu? Untuk menjelaskan ini, saya meminjam definisi Stephen R. Covey. Dalam bukunya, “The 7 Habits of Highly Effective People" (Binarupa, 1997), ia mengatakan kebiasaan adalah titik pertemuan dari Pengetahuan (apa yang harus kita lakukan, mengapa?), Keterampilan (bagaimana melakukan), dan Keinginan (mau melakukan).
Berangkat dari definisi Stephen R. Covey itu, ada tiga modal utama yang harus kita miliki bila kita ingin menjadi seorang penulis handal, yaitu: Pengetahuan, Keterampilan, dan Keinginan. Dengan kata lain, modal dasar menjadi penulis, cuma satu, yaitu membiasakan diri untuk menulis. Insyâ Allâh, secara mendetail, tiga hal itu akan kita bahas secara satu persatu.

Bersambung ke "Modal Pengetahuan"...