Sunday, January 20, 2008

Modal Dasar Menjadi Penulis 7

Modal Keinginan



Saya sepakat dan ikut prihatin, apa yang dikatakan oleh pak Hamid Fahmy Zarkasyi MA. M.Phil, yang termuat dalam Terobosan (Edisi 289, 21/02/06) bahwa alumni Timteng tidak analitis, tidak argumentatif, tidak bisa menulis. Betapa banyak Masisir yang telah menguasai "pengetahuan" menulis. Masisir tahu, "apa" dan "mengapa" menulis. Bahkan, pada hakikat, Masisir juga secara garis besar telah memiliki skill (keterampilan). Tapi, karena tidak ada "keinginan", mereka tak pernah melahirkan karya. Sebaliknya, tidak sedikit mereka yang begitu ingin, bahkan menggebu, bersemangat. Tapi, karena pengetahuan dan keterampilan kurang, maka tulisan kita tidak pernah terpublikasikan. Toh termuat di media, kualitas tulisan tersebut kurang berkualitas. Wajar, jika pak Hamid Fahmy berkata demikian, karena penulis yang muncul hanya bermodalkan kemauan. Atau, ada yang skill bagus dan keinginan besar, tapi karena waktu mereka terkuras untuk aktivitas Masisir, ide-ide brilyan mereka belum sempat mereka tuangkan dalam tulisan.

Dan menurut saya, justru persoalan terakhir —keinginan— ini, yang menjadi faktor utama rendahnya budaya menulis Masisir. Keinginan (irâdah) untuk menulis, berbeda dengan berpikir (fikrah) untuk menulis. Yang sering terjadi adalah berpikir menjadi penulis, bukan keinginan menjadi penulis. Sering bergema dalam benak kita: "Ah, saya akan menjadi seorang penulis!" Tapi hanya sebatas itu, tanpa ada tindakan nyata. Beda dengan orang punya keinginan, mereka "melakukannya", bukan memikirkannya.

Begitu saya berkeinginan menjadi seorang penulis, salah satu yang saya lakukan adalah menulis Catatan Harian (Cathar) —yang sedang Anda baca ini adalah salah satu Cathar saya dan telah saya perbaiki— setiap hari. Sekali lagi saya katakan: "Setiap hari!". Itu selama berbulan-bulan. Cuma, akhir-akhir ini, tidak setiap hari, karena kebiasaan menulis Cathar itu saya alihkan untuk menulis naskah buku.
Mengapa harus setiap hari? Karena, otak dan hati kita seperti otot dalam tubuh kita. Coba kita perhatikan para atlit atau pesilat, tubuh mereka seperti tak bertulang. Mereka begitu mudah melipat bagian tubuh, melompat, lari, dan lain sebagainya. Mengapa tubuh mereka bisa selentur itu? Sebab, mereka sering latihan, atau olahraga.

Begitu juga dalam dunia membaca dan menulis, bila tidak ada latihan atau olahraga, maka "otot" pikiran dan perasaan kita akan kaku; sulit bergerak. Nah, salah satu medium untuk latihan atau olahraga pikiran dan perasaan adalah membaca dan menulis. Jadi, Anda boleh percaya atau tidak, bahwa tulisan saya yang terpilih sebagai juara pertama pada lomba Karya Tulis Ilmiah Populer yang diselenggarakan oleh KBRI dan PPMI itu, saya tulis hanya satu hari. Iyya, hanya satu hari, bahkan hanya beberapa jam saja! Tepatnya, tujuh jam!!

Tapi Anda harus ingat, berapa lama saya "belajar" menuangkan gagasan? Itu lebih dari tiga tahun! Berapa lama saya mempersiapkan data yang saya tulis? Itu saya kumpulkan selama 5 tahun di Mesir. Artinya, ada sebuah proses panjang. Untuk melahirkan kemampuan menulis "dalam beberapa jam" butuh waktu sekian bulan, sekian tahun, bahkan lebih. Bagi saya, di dunia ini, tak ada yang terjadi "tiba-tiba", tapi tetap mengikuti proses, atau hukum kausalitas, yang telah Allah Swt. taqdirkan.
Mungkin dalam hati Anda bertanya: "Bagaimana supaya komitmen nulis setiap hari dalam rentang waktu lama, sebab sering terjadi setelah ingin komitmen menulis setiap hari, tapi hanya beberapa minggu, bahkan beberapa hari, mengalami bad mood?" Anda tidak perlu bersedih, sebab saya pun pernah mengalami hal itu. Tapi, karena saya punya motto hidup: "Teruslah berjalan, insya Allah, di tengah perjalanan, akan banyak menemukan jalan!", maka saya tetap menulis kapan dan di mana saja, meskipun hanya untuk diri sendiri; tidak dipublikasikan.

Mesin Penggerak

Satu hal lagi yang ingin saya tegaskan di sini, bahwa untuk komitmen terus menulis, kita butuh "mesin penggerak". Nama mesin penggerak itu adalah niat. Imam Ghazali mengatakan bahwa, niat itu berada antara ilmu dan amal. Dengan kata lain, jika memakai konsep Stephen R. Covey, niat tak lain "kebebasan untuk memilih" yang berada di antara stimulus dan respon. Dalam kebebasan untuk memilih itu, kata Stephen, ada 4 anugerah ilahi, yaitu: self-awarness, conscience, imagination, dan independent will. Tentu 4 hal yang dikutif dari Viktor Frankl dan diagungkan oleh Stephen, bukan hal yang baru, bagi para pembaca kitab “Madârijus Sâlikîn”. Dalam kitab itu, pengarangnya; Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah, mengatakan bahwa ada 4 manzilah Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în, yaitu yaqdhah, bashîrah, fikrah, dan 'azm.

Bukankah 4 hal —menurut Stephen dan Ibnu Qayyim— itu dapat terjemahkan dalam bahasa Indonesia, dengan empat kata ini: kesadaran diri, suara nurani, imajinasi, dan kehendak bebas? Sangat menarik, dan betapa inginnya saya, mendiskusikan 4 hal itu menurut penulis Barat (Stephen R. Covey) dan penulis Islam (Imam Ghazali dan Ibnu Al-Qayyim) —baik itu mengapa "Model Proaktif" Stephen sama dengan konsep niat Ghazali dan mengapa konsep 4 anugerah ilahi Stephen sama dengan 4 manzilah Ibnu Qayyim maupun apa makna keduanya?— tapi sayang, ini bukan tema obrolan kita. Untuk lebih jelasnya, saya telah menuangkan dalam naskah buku saya "Kalo Gue Berubah, So What Gitu Lho! (Panduan Lengkap Merubah Diri)", silahkan nanti baca sendiri ya! Saya menyampaikan hal itu, sebagai prolog untuk menjelaskan niat sebagai "mesin penggerak" dalam membaca dan menulis.

Baik, kembali ke niat. Bila niat itu tak lain "kebebasan untuk memilih", maka niat itu mengandung 4 hal di atas: kesadaran diri, suara nurani, imajinasi, dan kehendak bebas. Iyya, memang demikian! Begitulah, dengan membaca dan menulis. Kita akan tergerak menulis bila memiliki salah satu atau lebih dari 4 hal itu. Ada yang karena kesadaran diri bahwa menulis itu adalah identitas dirinya sebagai mahasiswa. Ada yang berangkat dari suara nurani karena sedih melihat persoalan yang sedang terjadi. Ada yang meng-majinasi-kan (membayangkan) bahwa menjadi penulis bisa dapat duit banyak, terkenal, dan bisa keliling dunia. Ada juga yang berangkat karena kehendak bebas; dari pada tidak lulus kuliah, mendingan saya nulis "risâlah" (Disertasi, atau Tesis) secepatnya.

"Niat, kata pak Adian, "atau apa yang menggerakan kita menulis itu, sangat menentukan, apakah kita akan menjadi penulis produktif atau bukan!" Lebih lanjut beliau menuturkan: "Saya menulis, karena saya merasa saya wajib untuk menulis. Ini yang menggerakan saya untuk menulis!" Dalam obrolan kami berdua di ruang tamu Griya KSW itu, beliau bercerita bahwa ia menulis menjawab tantangan zaman. Secara eksternal, menurut beliau, ummat Islam dihadapkan dengan tiga tantangan, yaitu kristenisasi, imperialis modern, dan orientalisme.

Berangkat dari mempertahankan idealisme —Islam— itu, beliau menulis. Baginya, menulis adalah wasilah dakwah. Tentu saja, karena mempertahankan idealisme itu, pada awalnya tulisan beliau banyak yang ditolak oleh penerbit. Hingga beliau pernah menerbitkan, mencetak, dan memasarkan bukunya sendirian. Ini sama persis yang pernah dilakukan oleh Nia, penulis novel “Eiffel, I'm In Love”. Saya yakin, Anda —Masisir— pernah nonton film dengan judul itu. Nia tidak menawarkan novel ini ke penerbit manapun. Ia memfoto-kopinya sendiri, lalu ia jual kepada teman-temannya. Berikut adalah kutipan sebuah artikel yang bercerita tentang kisah si Nia:

"Setelah novel Eiffel, I"'m in Love selesai (ditulis-red.), aku fotokopi jilid lakban sebanyak 20 eksemplar. Dan aku jual dengan harga 10.000. Ternyata novel itu banyak peminatnya. Setelah laku beberapa puluh, aku ganti jadi fotokopi jilid spiral. Waktu itu harganya naik jadi 12.000. Ternyata semakin laku dan aku ganti lagi jadi fotokopi jilid softcover. Setelah total laku sekitar 150 eksemplar, aku dapat pinjaman uang dari orang tua untuk nyetak buku. Akhirnya, aku nyetak kecil-kecilan. Aku taruh di Gramedia Mal Pondok Indah dan Gramedia Cinere. Ternyata laku, 100 eksemplar laku terjual dalam waktu kurang dari tiga minggu di satu toko buku,” kenang Nia.

Kisah pak Adian dan Nia, itulah contoh orang yang punya niat untuk menjadi penulis “beneran”. Mereka berdua tidak patah harapan, tatkala harus bekerja sendirian. Mereka punya karakter mandiri —tidak tergantung dengan siapapun— luar biasa. Mereka terus berjuang sampai impian mereka tercapai. Dan hari ini, mereka telah menikmati hasil jerih payah itu.

Yah, niatlah yang menggerakan kita untuk menulis, juga membaca. Niatlah yang membuat kita tidak kehilangan semangat dan siap menempuh proses panjang. Niatlah membuat kita tidak pernah berhenti menulis. Niat yang ikhlas, tidak membuat kita surut, ketika ada yang mengkritik atau “membantai” tulisan kita, tidak termuat di media, dan tidak ada yang mau menerbitkannya. Niat yang tulus, tidak membuat kita merasa puas, apalagi menepuk dada bila tulisan kita termuat di sebuah media, di terbitkan, atau dipuji oleh orang lain.

Setelah bertemu langsung dengan beberapa penulis Indonesia: Mbak Helvy, Mas Ahmadun, Kang Irwan, Mbak Asma, Teh Pipit Senja, Mas Fauzil Adhim, Kang Gola Gong, dan dalam beberapa hari yang lalu bertemu dengan Pak Adian Husaini, MA., Adnin Armas, MA., dan Hamid Zarkarsyi, MA. M.Phil., saya menemukan benang merah, yaitu mereka menulis karena "prihatin" terhadap realitas yang sedang terjadi dan niat ikhlas.

Sekali lagi, modal dasar kita untuk menjadi seorang penulis adalah kebiasaan. Dan mesin penggerak kebiasaan itu adalah niat. Tentu niat yang saya maksud adalah "apa yang terjadi dalam diri kita" antara ilmu dan amal; atau antara stimulus dan respon. Semakin bagus ilmu (stimulus), maka akan semakin baik yang menggerakan diri kita. Semakin banyak informasi yang kita terima, maka akan semakin besar semangat kita untuk menulis.

Pengalaman Saya

Sebagai contoh, dulu ketika saya menulis "tak ada niat", saya iseng-iseng nulis cerpen. Keisengan saya itu, maka terbitlah Kumcer "Bara Musa di Taman Terpasung" (Pustaka Ummat, 2002). Akhirnya, orang mengenal saya sebagai 'cerpenis'. Sebenarnya, saya kurang "sreg" dengan sebutan ini, walaupun saya suka baca dan nulis cerpen. Masa sih, kuliah di Al-Azhar, kok malah jadi cerpenis?

Lalu, saya membuka mata dan telinga, apa yang sedang "in" (trend) di kalangan Masisir dan di Indonesia? Ooo, orang-orang lagi ramai membicarakan tentang Barat dan Islam. Satu sisi saya ingin memasuki mainstrem, namun di sisi lain saya kurang "sreg" sebutan pemikir. Ditambah, untuk loncat pagar dari wilayah fiksi ke non-fiksi, bukan hal yang mudah. Ada kurang pede, untuk menulis karya ilmiah, karena diksi yang sering muncul justru diksi untuk fiksi, bukan non-fiksi.

Pergulatan batin itu ternyata tidak lama. Niat untuk menulis non-fiksi semakin mantap. Dari mana saya harus melangkah? Karena saya akan memasuki dunia pemikiran, maka saya putuskan buku yang harus saya baca adalah "The Reconstruction of Religious Thougth in Islam: Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam (Jalasutra, 2002). Saya langsung mencari karya Sir. Muhammad Iqbal itu. Alasan memilih buku ini, karena beliau sosok filosof sekaligus sastrawan. Saya berasumsi, dengan membaca karya tokoh ini, hobi akan sastra dan niat saya mengkaji pemikiran barat, akan terpenuhi. Saya ingin menyatukan dua warna dalam menulis, yaitu fiksi dan non-fiksi. Dengan basmalah, saya mencoba mengalihkan dua warna bacaan dan jenis tulisan, dari fiksi ke non-fiksi. Setelah menamat buku Iqbal tersebut, ada beberapa paragraf yang sangat menyentuh hati saya, ini bunyinya:

Dalam halaman 34 beliau menulis:
"Perlu juga kita menganalisis ulang apa sebetulnya yang sedang dipikirkan oleh Eropa (sekarang baca: Barat atau Amerika Serikat) dan sampai dimana kesimpulan-kesimpulan yang telah dicapainya itu bisa membantu kita untuk mengadakan revisi, dan kalau perlu, melakukan rekonstruksi atas pemikiran agama dalam Islam."

Halaman lain, halaman 166, beliau mengatakan:
"Tugas yang dihadapi oleh seorang muslim modern adalah tak bertara. Dia harus memikirkan kembali keseluruhan sistem Islam tanpa sepenuhnya memutuskan hubungan dengan masa lampau.."

Maka saya mencoba melakukan apa yang Iqbal sarankan, yaitu "menganalisis ulang apa yang dipikirkan oleh Barat". Lagi-lagi saya perlu menentukan, pintu masuk ke sana. Setelah meneliti diri, saya putuskan, sebaiknya saya masuk dari dunia Ilmu Psikologi dan Manajemen Diri. Saya awali dengan membaca dua buah buku karya Sa'ad Riyadh tentang psikologi, berjudul "'Ilmu al-Nafsi fi Al-Quran al-Karim" dan "'Ilmu al-Nafsi fi Al-Hadits asy-Syarif". Kemudian saya baca buku Stephen R. Covey —“The 7 Habits of Highly Effective People”, untuk memahami pemikiran orang barat.
Bersamaan dengan hal itu, saya melakukan pernyataan Iqbal yang kedua, yaitu "menstruktur pemahaman saya terhadap Islam" dan back to "turâts" (masa lampau). "Ingatlah Puzzle!", kata Gordon Dryden (The Learning Revolution, 2002), akan jauh lebih mudah jika Anda melihat gambar keseluruhannya lebih dahulu. Memulai sesuatu dengan gambaran menyeluruh, akan memudahkan kita untuk memahaminya.
Berbicara tentang struktur, cukup menarik apa yang dipaparkan oleh Kontowijoyo, bahwa menurut Webster's New International Dictionary kata strukture berasal dari bahasa latin "structura" yang artinya bangunan, dari kata structus atau stuere yang berarti menyusun. Jean Pieget dalam "Structuralism" (New York: Harper & Row, Publiser 1970) menyebutkan ada tiga ciri dari struktur, yaitu (1) wholeness (keseluruhan), (2) transformation (perubahan bentuk), dan (3) self-regulation (mengatur diri sendiri).

Dalam melakukan perenungan itu, saya seperti menyusun serpihan puzzle yang Dryden katakan. Hasil kontemplasi itu saya tuang dalam bentuk "Mapping Mind" (Peta Pikiran) yang saya pelajari dari buku Quantum Learning (Kaifa, 1999). Lambat laun, system of thought (sistem pemikiran) saya pun terbangun. Tiga hal yang Happer & Row katakan, juga saya rasakan. Tersingkaplah makna surat Al-Fatihah. Dan dari sini mengalir banyak ide untuk menulis, misalnya: "7 Prinsip Mendidik Anak Jadi Pahlawan", "7 Prinsip Merubah Diri", dan seterusnya.

Adapun langkah yang saya tempuh untuk back to Turats, saya mencari sosok ulama Islam yang karyanya banyak memuat persoalan jiwa —meskipun beliau lahir sebelum ilmu psikologi muncul, ternyata jatuh pada Ibnu Qayyim, salah satu karya beliau yang saya tela'ah adalah "Madârijus Sâlikîn".

Dari karya-karya Stephen R. Covey —bukan hanya The 7 habit, tapi juga "Firs Things First", termasuk karya putranya: Sean Covey, berjudul “The 7 Habits of Highly Effective Teens”, dll— dan karya-karya Ibnu Qayyim —bukan hanya Madârijus Sâlikîn, tapi juga "Al-Jawâbul Kâfy", "Miftâh Dârus Sa'âdah", "Shaidul Khatir", dll— saya semakin haus dengan karya-karya ulama besar, misalnya, Imam Ghazali, dan tokoh-tokoh dari barat. Terjadilah dialog antara tiga hal, sistem pemikiran saya, pemikiran Barat, dan pemikiran Muslim. Apa yang terjadi?

Ketika saya membaca literatur barat, saya menemukan dua hal: (1). Banyak konsep yang mereka tulis sebenarnya dari Islam, tapi mereka sama sekali tidak menuliskannya; (2). Bila mereka menyebutkan Islam atau orang Islam, mereka kemukakan dalam posisi yang jelek. Itu yang saya lihat dari buku Stephen R. Covey yang ia klaim objektif dan universal. Saat saya membaca literatur ulama Islam, saya menemukan dua hal juga: (1). Konsep yang mereka tawarkan adalah gagasan raksasa; (2). Metode yang mereka pakai, jauh lebih ilmiah dari metode barat yang konon paling ilmiah. Contoh-contoh dari penemuan saya ini, sebaiknya Anda diskusi langsung kepada saya. Ok?

Maka, tatkala Pak Adian Husani menceritakan bahwa beliau menulis karena "merasa wajib menulis" untuk meluruskan sesuatu yang salah, hati saya berdetak keras. Saya juga merasakan hal itu. Saya sering merasakan saya wajib untuk menulis, salah satunya tulisan saya berjudul "Nikah Saat Kuliah" sebagai syarat bantuan BWAKM (konon terkesan emosional dan membuat beberapa teman merah telinga), "Faktor-faktor Kesuksesan dan Kegagalan Masisir" yang saya ikutkan dalam Lomba Karya Tulis Populer KBRI dan PPMI, naskah buku saya "Kalo Gue Berubah; So What Gitu Loh! (Panduan Lengkap Merubah Diri)" sebagai tanggapan saya terhadap Stephen R. Covey, dan yang lainnya. Ya, saya menulis, karena merasa punya kewajiban untuk meluruskan sesuatu agar kembali kepada yang benar atau menyampaikan sesuatu yang benar.

Cuma, mungkin, perbedaan antara kami; Pak Adian merasakan itu puluhan tahun yang lalu, sedangkan saya belum cukup dua tahun. Yang jelas, kesadaran, hati nurani, imajinasi, dan kehendak bebas saya tersentuh. Dari sana, niat untuk menulis itu muncul. Niat inilah samudera tak bertepi yang bergelombang dalam jiwa. Niat bukan sekedar kompas saja, tapi juga peta dan rambu-rambu dalam perjalanan menemukan jalan kebenaran. Wajar, jika nabi Muhammad Saw, menegaskan: "Innamal A'mâlu bi an-Niyât". Seluruh aktivitas kita tergantung dengan niat kita.
Dan niat itu, bukan saja menggugah saya untuk menulis saja, tapi —minjam istilah Al-Ustadz KH. Abdullah Syukri Zarkasyi dalam acara IKPM di Sholah Kamil— membuat saya berubah dan merubah, bergerak dan menggerakan, berjuang dan memperjuangkan, dan seterusnya. Ini saya realisasikan dalam bentuk mendirikan CSRD (Community of Self Research and Development) yang bergerak dalam bidang penelitian dan pengembangan diri dengan konsep MATA (Manajemen Ahsanu Taqwim).

Ikhtitâm

Akhirnya, saya selalu belajar menjadi sosok "pencari makna". Tentu saja ada perbedaan antara orang yang mencari dengan tidak mencari. Bagi seorang pencari pulpen, ketika ia menemukannya, jiwanya akan berteriak: "Aha, saya menemukannya!" Sebaliknya bagi yang tidak mencari pulpen, maka ratusan bahkan milyaran pulpen di hadapannya, tak pernah akan membuat jiwanya bergetar. Seperti itulah kita. Meskipun kita tinggal di Lumbung Ilmu, atau Ka’batul ‘Ilmu (Kiblat Ilmu), referensi dan ulama banyak, bila kita tidak memposisikan diri sebagai pencarinya, maka semua itu tidak mampu menggerakan hati kita untuk membaca dan menulis. Kita anggap angin lalu.
Membaca, atau memamah kata itu seperti mengejar kijang. Bila tidak kita ikat, maka maknanya akan kabur. Cara untuk mengikat makna itu adalah kita harus menuliskannya. Karena saya pencari makna, wajar hal-hal yang kecil jadi menarik bagi saya, apalagi yang besar. Nah, apa yang Anda cari di Mesir? Apakah yang Anda cari itu sesuai dengan niat awal ke Mesir? Sudahkah Anda mengikatnya? Wallâhu a'lam! Wa shallâhu ‘alâ sayyidinâ Muhammadin wa ‘alâ â lihî wa shahbihî wa sallam?

No comments: